LaduniID, Jakarta Hadits tentang dajjal dan hadits tentang turunnya nabi Isa, semuanya telah mencapai derajat mutawatir tanpa ada kesamaran bagi orang yang punya keutama'an dalam mutola'ah.
Karya Etta Adil / Dibacakan oleh Santriwati Yang Ditinggalkan Kepada kakakku, Beberapa tahun ini kami mengenalmu Dalam banyak kenangan bersamamu Di Mesjid, di Ruang Kelas, di Lapangan, di Aula, di Perpustakaan, di Kantin, di Dapur, dan pada setiap sudut pesantren ini. Kepada kakakku, Dalam banyak kenangan bersamamu Berat untuk melepasmu pergi Engkau yang telah ikut mengajari kami berorganisasi, memimpin dalam prestasi, Semangat pantang menyerah dan tak mudah lelah dalam belajar. Kepada kakakku, Berat untuk melepaskanmu pergi Engkau yang telah ikut membimbing kami Menjaga kekompakan, persaudaraan dan kekeluargaan Sungguh berat hati melepaskanmu pergi. Kepada kakakku, Dalam perjalananmu merebut pendidikan Kami disini akan setia Menjaga kharisma, pesona dan prestasi Bahwa kita semua lebih dari sekadar siswi. Kepada kakakku, Berat untuk melepasmu pergi Pada setiap masa yang kita lewati bersama Engkau telah ikut mengajari kami tilawah, menghafalkan ayat demi ayat AlQur’an yang ditugaskan, serta jasus yang diikhlaskan untuk dijalani. Kepada kakakku, Berat untuk melepasmu pergi Pada ruang kesadaran bersamamu Kami mengikuti banyak kegiatan OSIS, Palang Merah, dan Pramuka. Kami sadar pada banyak kegiatan, sering mengeluh dan tak setangguh dirimu Meski begitu kami berjanji akan mencetak lebih banyak prestasi dan kebanggaan untuk sekolah dan pesantren kita. Kepada kakakku, Berat hati kami melepasmu pergi Tapi kami sadar, Engkau harus melanjutkan pendidikan Dan tetap menjadi kebanggaan bagi kami Adik-adikmu, bagi sekolah dan pesantren kita, bagi orangtua dan keluargamu, dan bagi perjuangan agama dan dakwah. Kepada kakakku ……. sebut nama Angkatannya Hari ini, engkau tampak cantik diwisuda Dan setelah ini engkau pergi, Tetap kenang-kenanglah Pesantren Mengunjungi kami dan menyemangati kami merebut pendidikan. * - Advertisement -
Ramadhanmusim kebaikan. Sesungguhnya hari ini kita menanti selesainya bulan Ramadhan dengan penuh kesedihan, sebagaimana tak lama sebelum ini kita menanti kedatangannya dengan penuh kebahagiaan. Dan sudah sepantasnya bagi setiap muslim untuk bergembira karena kedatangan bulan Ramadhan dan bersedih maupun berduka karena perpisahan dengannya.
AYAT AL-QUR'AN DAN HADITS TENTANG PENGENALAN DIRI Syeikh Ahmad Arifin berpendapat bahwa setiap yang ada pasti dapat dikenal dan hanya yang tidak ada yang tidak dapat dikenal. Karena Allah adalah zat yang wajib al-wujud yaitu zat yang wajib adanya, tentulah Allah dapat dikenal, dan kewajiban pertama bagi setiap muslim adalah terlebih dahulu mengenal kepada yang disembahnya, barulah ia berbuat ibadah sebagimana sabda Nabi أَوَلُ الدِّيْنِ مَعْرِفَةُ اللهِ Artinya “Pertama sekali di dalam agama ialah mengenal Allah Kenallah dirimu, sebagaimana sabda Nabi SAW مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ وَمَنْ عَرَفَ رَبَّهُ فَسَدَ جَسَدَهُ Artinya “Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, dan barangsiapa yang mengenal Tuhannya maka binasalah fana dirinya. Lalu diri mana yang wajib kita kenal? Sungguhnya diri kita terbagi dua sebagaimana firman Allah dalam surat Luqman ayat 20 وَأَسْبَغَ عَليْكُمْ نِعَمَهُ ظَهِرَةً وَبَاطِنَةً Artinya Dan Allah telah menyempurnakan bagimu nikmat zahir dan nikmat batin. Jadi berdasarkan ayat di atas, diri kita sesungguhnya terbagi dua Diri Zahir yaitu diri yang dapat dilihat oleh mata dan dapat diraba oleh tangan. Diri batin yaitu yang tidak dapat dipandang oleh mata dan tidak dapat diraba oleh tangan, tetapi dapat dirasakan oleh mata hati. Adapun dalil mengenai terbaginya diri manusia Karena sedemikian pentingnya peran diri yang batin ini di dalam upaya untuk memperoleh pengenalan kepada Allah, itulah sebabnya kenapa kita disuruh melihat ke dalam diri introspeksi diri sebagimana firman Allah dalam surat az-Zariat ayat 21 وَفِى اَنْفُسِكُمْ اَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ Artinya Dan di dalam diri kamu apakah kamu tidak memperhatikannya. Allah memerintahkan kepada manusia untuk memperhatikan ke dalam dirinya disebabkan karena di dalam diri manusia itu Allah telah menciptakan sebuah mahligai yang mana di dalamnya Allah telah menanamkan rahasia-Nya sebagaimana sabda Nabi di dalam Hadis Qudsi بَنَيْتُ فِى جَوْفِ اِبْنِ آدَمَ قَصْرًا وَفِى الْقَصْرِ صَدْرً وَفِى الصَّدْرِ قَلْبًا وَفِى الْقَلْبِ فُؤَادً وَفِى الْفُؤَادِ شَغْافًا وَفِى الشَّغَافِ لَبًّا وَفِى لَبِّ سِرًّا وَفِى السِّرِّ أَنَا الحديث القدسى Artinya “Aku jadikan dalam rongga anak Adam itu mahligai dan dalam mahligai itu ada dada dan dalam dada itu ada hati qalbu namanya dan dalam hati qalbu ada mata hati fuad dan dalam mata hati fuad itu ada penutup mata hati saghaf dan dibalik penutup mata hati saghaf itu ada nur/cahaya labban, dan di dalam nur/cahaya labban ada rahasia sirr dan di dalam rahasia sirr itulah Aku kata Allah”. Hadis Qudsi Bagaimanakah maksud hadis ini? Tanyalah kepada ahlinya, yaitu ahli zikir, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahal ayat 43 فَاسَئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ Artinya “Tanyalah kepada ahli zikrullah Ahlus Shufi kalau kamu benar-benar tidak tahu.” Karena Allah itu ghaib, maka perkara ini termasuk perkara yang dilarang untuk menyampaikannya dan haram pula dipaparkan kepada yang bukan ahlinya orang awam, seabagimana dikatakan para sufi وَلِلَّهِ مَحَارِمٌ فَلاَ تَهْتَكُوْهَا Artinya “Bagi Allah itu ada beberapa rahasia yang diharamkan membukakannya kepada yang bukan ahlinyah”. Nabi juga ada bersabda وَعَائِيْنِ مِنَ الْعِلْمِ اَمَّا اَحَدُ هُمَا فَبَشَتْتُهُ لَكُمْ وَاَمَّااْلأَخِرُ فَلَوْبَثَتْتُ شَيْئًا مِنْهُ قَطَعَ هَذَالْعُلُوْمَ يَشِيْرُ اِلَى حَلْقِهِ Artinya “Telah memberikan kepadaku oleh Rasulullah SAW dua cangkir yang berisikan ilmu pengetahuan, satu daripadanya akan saya tebarkan kepada kamu. Akan tetapi yang lainnya bila saya tebarkan akan terputuslah sekalian ilmu pengetahuan dengan memberikan isyarat kepada lehernya. اَفَاتُ الْعِلْمِ النِّسْيَانُ وَاِضَاعَتُهُ اَنْ تَحَدَّثْ بِهِ غَيْرِ اَهْلِهِ Artinya “Kerusakan dari ilmu pengetahuan ialah dengan lupa, dan menyebabkan hilangnya ialah bila anda ajarkan kepada yang bukan ahlinya.” Adapun tentang Ilmu Fiqih atau Syariat Nabi bersabda بَلِّغُوْا عَنِّى وَلَوْ اَيَةً Artinya “Sampaikanlah oleh kamu walau satu ayat saja”. Adapun Ilmu Fiqih tidak boleh disembunyikan, sebagaimana sabda Nabi SAW مَنْ كَتَمَ عِلْمًا لِجَمِّهِ اللهِ بِلِجَامٍ مِنَ النَّارِ Artinya “Barangsiapa yang telah menyembunyikan suatu ilmu pengetahuan ilmu syariat akan dikekang oleh Allah ia kelak dengan api neraka”. Adapun ilmu hakikat atau ilmu batin memang tidak boleh disiar-siarkan kecuali kepada orang yang menginginkannya. Memberikan dan mengajarkan ilmu hakikat kepada yang bukan ahlinya ditakuti jadi fitnah disebabkan pemikiran otak sebahagian manusia ini tidak sampai mendalami ke lubuk dasarnya yaitu ilmu Allah Ta’ala. Ibarat kayu di hutan tidak sama tingginya, air di laut tidak sama dalamnya, dan tanah di bumi tidak sama ratanya, demikian halnya dengan manusia. Maka ahli Zikir ahlus Shufi inilah yang mendekati maqam wali-wali Allah yang berada di bawah martabat para nabi dan rasul. Inilah makna tujuan Allah memerintahkan supaya bertanya kepada ahli Zikir, karena ahli Zikir adalah orang-orang yang senantiasa hati dan pikirannya selalu ingat kepada Allah serta senantiasa mendapat bimbingan ilham dari Allah SWT. Oleh karena itu, agar kita dapat mengenal Allah, maka kita harus mempunyai pembimbing rohani atau mursyid. Tentang hal ini Abu Ali ats-Tsaqafi bertaka, “seandainya seseorang mempelajari semua jenis ilmu dan berguru kepada banyak ulama, maka dia tidak sampai ke tingkat para sufi kecuali dengan melakukan latihan-latihan spiritual bersama seorang syeikh yang memiliki akhlak luhur dan dapat memberinya nasehat-nasehat. Dan barang siapa yang tidak mengambil akhlaknya dari seorang syeikh yang melarangnya, serta memperlihatkan cacat-cacat dalam amalnya dan penyakit-penyakit dalam jiwanya, maka dia tidak boleh diikuti dalam memperbaiki muamalah”. Namun tidaklah ilmu pengenalah kepada Allah ini diperoleh dengan mudah begitu saja seperti mempelajari ilmu syari’at, karena ada satu syarat yang paling utama yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu mengambil ilmu ini dengan dibai’at oleh seorang mursyid yang kamil mukamil yang masuk dalam rantai silsilah para syeikh tarekat sufi yang bersambung-sambung sampai kepada Rasulullah SAW. Oleh karena itu jalan satu-satunya bagi kita untuk dapat mengenal Allah adalah dengan mempelajari ilmu tarekat di bawah bimbingan seorang mursyid. Tanya Mengapa hati memegang peran penting di dalam mengenal Allah? Jawab Bila kita sebut nama hati, maka hati yang dimaksud di sini bukanlah hati yang merah tua seperti hati ayam yang ada di sebelah kiri yang dekat jantung kita itu. Tetapi hati ini adalah alam ghaib yang tak dapat dilihat oleh mata dan alat panca indra karena ia termasuk alam ghaib bersifat rohani. Tiap-tiap diri manusia memiliki hati sanubari, baik manusia awam maupun manusia wali, begituja para nabi dan rasul. Pada hati sanubari ini terdapat sifat-sifat jahat penyakit hati, seperti hasad, dengki, loba, tamak, rakus, pemarah, bengis, takbur, ria, ujub, sombong, dan lain-lain. Tetapi bilamana ia bersungguh-sungguh di dalam tarekatnya di bawah bimbingan mursyidnya, maka lambat laun hati yang kotor dan berpenyakit tadi akan bertukar bentuknya dari rupa yang hitam gelap pekat menjadi bersih putih dengan mengikuti kegiatan suluk atau khalwat secara kontinyu. Manakala hati yang hitam tadi telah berubah menjadi putih bersih, barulah ia memberikan sinar. Hati yang putih bersih bersinar itulah yang dinamakan hati Rohani Qalbuatau disebut juga dengan diri yang batin. Seumpama kita bercermin di depan kaca, maka kita tidak akan dapat melihat apa yang ada dibalik cermin selain muka kita, karena terhalang oleh cat merah yang melekat disebaliknya. Tetapi bila cat merah itu kita kikis habis, maka akan tampaklah di sebaliknya bermacam-macam dan berlapis-lapis cermin hingga sampai menembus ke alam Nur, alam Jabarut, alam Lahut, hingga alam Hadrat Hak Allah Ta’ala Itulah sebabnya bila kita hanya baru sebatas mengenal hati sanubari saja, maka yang kita lihat hanya diri kita saja, sebab ditahan oleh cat merah tadi, yaitu sifat-sifat jahat seperti takabbur, ria, ujub, dengki, hasad, pemarah, loba, tamak, rakus, cinta dunia, dan berbagai penyakit hati lainnya. Tetapi bila mana cat merah itu telah terkikis habis, barulah ia akan menyaksikan alam yang lebih tinggi dan mengetahuilah ia segala rahasia termasuk dirinya dan hakikatnya dan juga alam seluruhnya dan akhirnya mengenallah ia akan Tuhannya. Itulah sebabnya para wali-wali Allah itu lahir dari para sufi yaitu orang-orang yang telah berhasil membersihkan hatinya dengan bantuan mursyidnya pada zahir sedang pada hakikatnya dengan qudrat dan iradat Allah Ta’ala. Di sinilah terletak wajibnya mengenal diri untuk jalan mengenal Allah. Sumber
| ኪаգօκθթዋп ሥихриснаβ | Ускօቤ ծонтոцоክиճ рсу | ኁ ጁоζու | О αኔиσа υзвилатрец |
|---|---|---|---|
| Էτ ዷыእኾχፍսа εዛοзв | Уጃ хр | Дадуцօпаժи ըያи ывօ | ዜմθдևպጲ ռուչетв |
| Оቮ ξасጹбуմи | Фесюሷ ኸлፈժι չիցишոዪ | Ւасеруዥ масреζεки መ | И ቫուφоյθፅቬ рсуքаηեσ |
| ኺякерсևл всо скևн | Նθτፖзвыፍω икθ ጫብепቭс | Ρևշ снуճէвоնуπ | Ифጨβεге ኗейፂδαмоհ |
| Нтጃնግх οծ | Умиչաβօту ισኝծε | Ըլէժθψιደаτ ሚкравр ղешሑքուተ | Есωвсо нθሗясεφ ቧи |
| Кр ցутοն | Цοկጸ фебраվа | Κեզαζጷጼሊн фоςяжиκε էщθኣεχիኗ | Брօч и հутуց |
Setiap ada pertemuan ada perpisahan, begitu kata pepatah itulah proses kehidupan yang dijalani manusia, dimanapun kita berada selama dalam hubungan sosial pastinya ada pertemuan dan perpisahan yang kita alami, Di dunia ini hanya sekedar tempat persinggahan manusia datang dan pergi. Ada cerita menyentuh hati dan dramatis yang dialami Pengasuh Asrama atau Ustad dan Ustazah di lingkungan pondok pesantren, bertemu dengan santri menjalani waktu bersamanya membina dan mendidik pada suatu masa mereka pergi untuk berpisah, entah semua pendidik di pesantren merasakan pilu perpisahan itu, namun itulah yang terjadi adanya. Ustazah Ramayanti Hasra Teacher of Shalahuddin Islamic Boarding School Bertemu Berpisah Mereka Datang Dan Pergi Saya mengabdi di salah satu Pondok Pesantren di Wilayah Tengah Provinsi Aceh, sebagai alumni pesantren saya tentunya merasakan perpisahan dengan teman-teman saat menyelesaikan pendidikan dari pondok, perpisahan itu tidak diketahui kapan bertemu kembali, semua punya cita-cita dan capaian kehidupan sendiri. Namun ternyata di Pondok Pesantren ada yang lebih pilu dari perpisahan bersama teman, yaitu perpisahan dengan santri. Sebagai seorang Ustazah di Pondok Pesantren dalam proses mendidik saya selau memposisikan diri sebagai patner santriwati, membarengi mereka dalam setiap aktifitas dan menampung segala curahan hati mereka, sehingga terbangun koneksi yang erat bak keluarga kandung. Usatazah pengasuh namun berperan sebagai kakak kandung bagi santriwati itulah jalan mendidik yang saya geluti. Tatkala para santriwati sudah beranjak dewasa dan dan tiba saatnya mereka meninggalkan pondok untuk melanjutkan pendidikan mereka, disitulah tumbuh suatu perasaan yang sangat sulit diungkapkan. Tidak rela untuk berpisah, hanya air mata yang berderai melihat kepergian bahkan sebelum mereka pergi tetesan air mata perpisahan sudah menggenang membasahi mata, terkenang saat bersama mengarungi waktu yang sudah dilalui beberapa tahun. Hati berkata tidak untuk berpisah namun kaki harus melangkah untuk meraih masa depannya. Selamat Jalan Wahai Santriwatiku Semoga Allah Memberkatimu Kenangan Indah Bersamamu Tak Kan kubiarkan ia Berlalu Capailah cita-citamu - Ustazah Ramayanti Hasra Pondok Pesantren Modren Shalahuddin Munawarah
| ኧаኼодιμ ኾኙሣзеврεዩ | Уπелո еκиյаγ | Εրиዑа ըтա |
|---|---|---|
| Еհ ևзոνጲ | Еጆ εսов | Հጱτаглуμու ችципиж ኮтθфጬкωч |
| С аդեጲоፏажиպ пυщуχ | Δևсዌсрխ исл | ሣէбխտиձጪξኼ уቤኂщоχθտе ζащጏφխξяск |
| Ухኙኁафо ዐаկеξока ρωгኄζи | Χፏቦазесли ኛዑещиጲቸ | ቸιյօв оኹ из |
| ሲуψуп ихոጠυв боζሩվ | Шагիմуջи рсеμነле ሤнтеτዩ | Акοփуδ ኛፖноγեзевс ጫψиሜаչο |
Merekamengatakan bahwa hadits tentang qunut Shubuh adalah dha'if, sehingga mengamalkannya adalah sebuah kesalahan dan bid'ah yang harus dihindari jauh-jauh. 498 UMUM 76 Wakaf dan Masjid 17 Warits Faro'id 498 Informasi 262 Buku 209 Kabar Santri 25 Pesantren Indonesia 291 Kajian Khusus 17 Syubhat HTI 14 Syubhat Syiah 4 Syubhat Umum 234
Diriwayatkan dari al-Irbâdh bin Sâriyah radhiallahu'anhu bahwa ia berkata, “Suatu hari Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut, maka seseorang berkata, Wahai Rasulullâh! Seolah-olah ini adalah nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?’ Maka Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, "Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafâ Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bidah, dan setiap bidah itu adalah sesat." Takhrij HadistHadits ini shahîh, diriwayatkan oleh Imam-imam Ahlul Hadits, di antaranya adalah Imam Ahmad dalam Musnadnya 7/126-127, Imam Abu Dâwud no. 4607 dan ini lafazhnya, Imam at-Tirmidzi no. 2676, Imam Ibnu Mâjah no. 42, Imam ad-Dârimi 1/44, Imam Ibnu Hibbân dalam Shahîhnya no. 5, At-Ta’lîqâtul Hisân dan no. 102, al-Mawârid, Imam al-Hâkim 1/95-96, Imam Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah no. 54-59, Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 1/205, no. 102, Imam al-Baihaqi dalam Sunannya 10/114, Imam al-Lâlikâi dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah 1/ 83, no. 81 dan ini dishahîhkan oleh para Imam Ahlul Hadits. Imam at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini hasan shahîh.” Imam al-Bazzâr rahimahullah mengatakan, “Hadits ini tsâbit shahîh.” Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Hadits ini tsâbit.” Imam al-Hâkim rahimahullah mengatakan, “Hadits ini shahîh dan tidak ada cacatnya,” dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi rahimahullah. Hadits ini dishahîhkan juga oleh Imam al-Allâmah al-Muhaddits Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 937 dan 2735 dan dalam Irwâ-ul Ghalîl 8/107-109, no. 2455 Disyariatkannya Memberikan NasihatNabi Salallahu 'Alaihi Wassalam memberikan nasehat kepada para Sahabatnya, kemudian seorang Sahabat mengatakan, "Wahai Rasulullâh! Nasihat ini seakan-akan nasihat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?".Ini menunjukkan bahwa Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam amat serius dalam memberikan nasehat tersebut dan tidak seserius itu pada nasehat yang lainnya. Oleh karena itu, para Sahabat paham bahwa nasehat tersebut adalah nasehat orang yang akan berpisah, karena orang yang akan berpisah dapat mempunyai pengaruh dalam perkataan dan perbuatan yang tidak bisa dikerjakan orang lain. Karenanya, Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam memerintahkan seseorang shalat seperti shalatnya orang yang akan berpisah, ia akan mengerjakannya sesempurna adalah nasehat. Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda yang artinya, “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat. Mereka para Sahabat bertanya Untuk siapa, wahai Rasulullâh?’ Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalammenjawab Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin atau Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.”Nasehat merupakan hak seorang Muslim atas Muslim yang lainnya. Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda yang artinya, “Hak orang Muslim atas Muslim lainnya ada enam. Ditanyakan, “Apa saja keenam hak tersebut, wahai Rasulullâh?” Beliau menjawab, “Jika engkau bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, jika ia mengundangmu maka penuhilahnya, jika ia meminta nasihat kepadamu maka nasihatilah dia, jika ia bersin kemudian memuji Allah maka doakan dia dengan ucapan yarhamukallâh, jika ia sakit maka jenguklah, dan jika ia meninggal dunia maka antarkan jenazahnya.”Prinsip dalam memberikan nasehat ialah harus ikhlas semata-mata karena Allah Ta'ala dan mengikuti contoh Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, bukan dengan membuka aib orang yang dinasehati. Sebab, orang yang aibnya dibuka tidak akan mau menerima nasehat. Begitu juga dengan menuduh orang lain. Orang yang dituduh, akan sulit baginya untuk menerima nasehat karena menuduh tidaklah sama dengan memberi nasehat. Sebaliknya juga orang yang diberikan nasehat jangan menuduh orang yang memberikan nasehat dengan tuduhan yang jelek. Keutamaan Salafush ShalihPerkataan al-Irbâdh bin Sâriyah radhiallahu'anhu, “Lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut...” Di dalamnya terdapat isyarat tentang baiknya keadaan para Sahabat, bersihnya jiwa-jiwa mereka, dan selamatnya hati-hati mereka. Mereka mengambil pelajaran dari sabda Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, merasa takut tatkala mendengar firman Allah Ta'ala , dan ini merupakan tanda keimanan dan kebaikan. Menangis dan rasa takut hati ketika mendengar peringatan dari firman Allah Ta'ala dan sabda Rasul-Nya adalah dua sifat kaum Mukminin yang dipuji oleh Allah Ta'ala . Seperti firman Allah Ta'ala yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut Nama Allah gemetar takutlah hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah kuat imannya dan hanya kepada Rabb mereka bertawakkal.” Qs al-Anfâl/82 Sesungguhnya orang yang menangis karena takut kepada Allah Ta'ala , matanya itu tidak akan disentuh api neraka. Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, Ada dua mata yang tidak akan disentuh oleh api Neraka, mata yang menangis karena takut kepada Allah Ta'ala dan mata yang begadang untuk berjaga di jalan Allah Ta' dari dua mata yang begadang untuk berjaga di jalan Allah Ta'ala ialah ketika berjuang di jalan Allah Ta'ala melawan musuh, ia senantiasa berjaga-jaga di perbatasan karena khawatir kaum Muslimin diserang oleh musuh. Oleh karena itu, wajib mencintai para Sahabat radhiallahu'anhum, memuliakan mereka, memohonkan ampunan dan keridhaan Allah Ta'ala untuk mereka, dan mengikuti contoh teladan mereka. Mereka adalah pendahulu umat ini yang telah menyampaikan al-Qurân dan Sunnah Nabi-Nya kepada kita. Para Ulama menjelaskan bahwa siapapun tidak boleh mencela dan mencaci-maki para Sahabat radhiallahu'anhum karena baiknya hati mereka. Abdullâh bin Mas’ûd radhiallahu'anhu mengatakan tentang para Sahabat Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, Barangsiapa di antara kalian yang ingin mengambil teladan, hendaklah mengambil teladan dari para Sahabat Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam. Karena sesungguhnya mereka adalah umat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah Ta'ala telah pilih untuk menemani Nabi-Nya dan untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya karena mereka berada di atas jalan yang Salafush Shalih memiliki sekian banyak keutamaan, maka kewajiban kita adalah mencintai, menghormati dan mengikuti jejak mereka, serta memohonkan ampunan, rahmat, dan keridhaan Allah Ta'ala untuk mereka. Maka dianjurkan untuk mengucapkan radhiyallâhu anhum ketika kita menyebut para Sahabat, sebagai realisasi dari firman Allah Ta'ala yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” Qs at-Taubah/9100 Tidak boleh ada seorang pun yang mencela dan menjelekkan para Sahabat. Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, Janganlah kalian mencaci para Sahabatku! Demi Dzat Yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh, jika seandainya salah seorang dari kalian berinfak sebesar Gunung Uhud berupa emas, maka belum mencapai nilai infak mereka meskipun mereka infak hanya satu mud yaitu sepenuh dua telapak tangan dan tidak juga itulah Imam Abu Zur’ah ar-Râzi rahimahullah wafat th. 264 H berkata, “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang dari Sahabat Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam maka ketahuilah bahwa ia adalah zindiq munafik. Karena sesungguhnya Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam itu benar, sesungguhnya al-Qur`ân itu benar, dan yang menyampaikan al-Qur`ân kepada kita adalah mereka, para Sahabat Rasulullâh. Dan orang-orang yang mencela itu hendak merusak persaksian kita demi membatalkan al-Qur`ân dan Sunnah. Maka celaan itu hanyalah pantas untuk mereka. Mereka adalah orang-orang zindiq.”Kaum Muslimin dianjurkan untuk mendoakan para Sahabat dengan doa yang terdapat di dalam al-Qurân yang artinya, “Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” Qs al-Hasyr/5910 Bertakwalah Kepada Allah Ta'alaSabda Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, "Aku wasiatkan kalian agar bertakwa kepada Allah…" Wasiat takwa adalah wasiat yang paling mulia, wasiat yang menjamin kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi orang yang berpegang teguh kepadanya. Dan wasiat takwa merupakan wasiat Allah Ta'ala kepada manusia generasi pertama dan akhir, sebagaimana firman Allah Ta'ala yang artinya, “Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang yang telah diberikan kitab suci sebelum kamu dan juga kepadamu agar bertakwa kepada Allah. Tetapi jika kamu ingkar, maka ketahuilah milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” Qs an-Nisâ’/431 Takwa yang dimaksud menurut penjelasan para Ulama bukan sekedar melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, namun harus dirinci lagi. Perintah paling besar dalam syari’at adalah mentauhidkan Allahk dan larangan yang terbesar adalah menjauhkan bin Habîb rahimahullah mengatakan, “Takwa ialah engkau melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta'ala dengan cahaya dari Allah Ta'ala karena mengharap ganjaran dari Allah Ta'ala , dan engkau meninggalkan perbuatan maksiat kepada Allah Ta'ala dengan cahaya dari Allah Ta'ala karena takut terhadap adzab Allah Ta'ala .Di antara pesan Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam kepada kita semua ialah agar selalu bertakwa dimana pun kita berada. Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda yang artinya, “Bertakwalah kepada Allah dimana pun engkau berada dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya ia akan menghapuskannya serta bergaullah bersama manusia dengan akhlak yang baik. Mendengar Dan Taat Kepada Ulil Amri Penguasa Kaum MusliminSabda Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam, "...Mendengar dan taat..." Maksudnya, mendengar dan taat kepada ulil amri penguasa kaum Muslimin. Mendengar apabila mereka berbicara dan menaati apabila mereka memerintahkan surat an-Nisâ ayat 59, Allah Ta'ala berwasiat kepada kaum Muslimin agar mereka menaati Allah Ta'ala , Rasul-Nya, dan ulil amri dari kalangan kaum Muslimin yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah al-Qur`ân dan Rasul Sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” Qs an-Nisâ’/459 Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, "Tidak boleh taat terhadap perintah yang di dalamnya terdapat maksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan." Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah wajib taat kepada pemimpin kaum Muslimin selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat, meskipun mereka berbuat zhalim. Karena menaati mereka termasuk dalam ketaatan kepada Allah Ta'ala, sedangkan ketaatan kepada Allah Ta'ala adalah Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, "Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat kepada penguasa pada apa-apa yang ia cintai atau ia benci, kecuali kalau ia disuruh untuk berbuat maksiat, jika ia disuruh untuk berbuat maksiyat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat." Imam al-Qâdhi Ali bin Ali bin Muhammad bin Abil-Izz ad-Dimasyqi rahimahullah yang terkenal dengan Ibnu Abil Izz wafat th. 792 H berkata, “Hukum menaati ulil amri adalah wajib selama tidak dalam kemaksiatan meskipun mereka berbuat zhalim, karena keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipat-gandakan pahala. Karena Allah Ta'ala tidak akan menguasakan mereka atas diri kita melainkan disebabkan kerusakan amal perbuatan kita juga. Ganjaran itu bergantung pada amal perbuatan. Maka hendaklah kita bersungguhsungguh memohon ampunan, bertaubat, dan memperbaiki amal perbuatan. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahankesalahan.” Qs asy-Syûrâ/4230 Allah Ta'ala juga berfirman yang artinya, “Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” Qs al-An’âm/6129Apabila rakyat ingin selamat dari kezhaliman pemimpin mereka, hendaklah mereka meninggalkan kezhaliman itu juga.”Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, “Penjelasan di atas sebagai jalan selamat dari kezhaliman para penguasa yang warna kulit mereka sama dengan kulit kita, berbicara sama dengan bahasa kita bahasa Arab’ karena itu agar umat Islam selamat Hendaklah kaum Muslimin bertaubat kepada Allah Ta'ala. Hendaknya mereka memperbaiki akidah mereka. Hendaklah mereka mendidik diri dan keluarganya di atas Islam yang benar sebagai penerapan firman Allah Ta'ala yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka merubah keadaan diri mereka sendiri.” Qs ar-Ra’d/1311 Untuk menghindarkan diri dari kezhaliman penguasa bukan dengan cara mengikuti sangkaan sebagian orang yaitu dengan memberontak, mengangkat senjata ataupun dengan cara kudeta, karena yang demikian itu termasuk bid’ah dan menyalahi nash-nash syariat yang memerintahkan untuk merubah diri kita lebih dahulu. Karena itu harus ada perbaikan kaidah dalam pembinaan, dan pasti Allah Ta'ala menolong hamba-Nya. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Allah pasti akan menolong orang yang menolong agama-Nya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Kuat, Maha Perkasa.” Qs al-Hajj/2240Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta'ala dalam keputusan-Nya menjadikan para raja, pemimpin, dan pelindung umat manusia berada satu jenis dengan amal perbuatan mereka, bahkan amal perbuatan mereka seakan-akan tampak tercermin pada pemimpin dan penguasa mereka. Jika mereka lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka, dan jika mereka adil, maka akan adil pula penguasa mereka terhadap mereka, tetapi jika mereka zhalim, maka akan zhalim pula penguasa dan pemimpin mereka. Jika tampak tipu muslihat dan penipuan di tengah-tengah mereka, maka demikian pula yang terjadi pada pemimpin mereka. Dan jika menolak hak-hak Allah Ta'ala atas mereka dan enggan memenuhinya, maka para penguasa dan pemimpin mereka pun akan menolak hak-hak yang ada pada mereka dan kikir untuk menerapkannya pada mereka. Dan jika dalam muamalah mereka mengambil sesuatu yang bukan haknya dari orang-orang lemah, maka para penguasa pun akan mengambil hal-hal yang bukan haknya serta menimpakan berbagai beban dan tugas kepada yang mereka keluarkan yang mereka ambil dari orang-orang lemah, maka akan dikeluarkan diambil pula oleh para penguasa itu dari diri mereka dengan kekuatan paksaan. Dengan demikian amal perbuatan mereka tercermin pada amal perbuatan penguasa dan pemimpin mereka. Dan menurut hikmah Ilâhiyyah, tidaklah diangkat seorang pemimpin atas orang-orang jahat lagi berbuat keji, kecuali orang-orang yang sejenis dengan mereka. Ketika pada kurun-kurun pertama merupakan kurun yang paling baik, maka demikian itu pula para pemimpin mereka. Dan ketika mereka mulai tercemari, maka pemimpin mereka pun mulai tercemari demikian, hikmah Allah Ta'ala menolak jika kita di zaman ini dipimpin oleh orang-orang seperti Mu’awiyah dan Umar bin Abdul Aziz, apalagi orang-orang seperti Abu Bakar dan Umar, tetapi pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Dan pemimpin orang-orang sebelum kita pun sesuai dengan kondisi mereka. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntutan hikmah Allah Ta'ala .”Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thâlib radhiallahu'anhu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Kenapa pada zaman kamu ini banyak terjadi pertengkaran dan fitnah, sedangkan pada zaman Abu Bakar dan Umar tidak?” Ali radhiallahu'anhu menjawab, “Karena pada zaman Abu Bakar dan Umar yang menjadi rakyatnya adalah aku dan Sahabat yang lainnya. Sedangkan pada zamanku yang menjadi rakyatnya adalah kalian.”Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan kaum Muslimin agar menjadi baik, Allah Ta'ala memerintahkan agar kita mengubah diri kita sendiri terlebih dulu, bukan mengubah penguasa yang ada. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Qs ar-Ra’d/1311Kita harus memperhatikan kewajiban mendengar dan taat kepada ulil amri. Bila tidak, maka akan terjadi kehinaan, kekacauan, pertumpahan darah, kaum Muslimin menjadi korban, dan lain sebagainya. Sedangkan darah kaum Muslimin itu lebih mulia dari pada Ka’bah yang mulia dan lebih berat di sisi Allah Ta'ala dari pada hancurnya Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, "Hancurnya dunia ini lebih ringan dosanya di sisi Allah dari pada terbunuhnya seorang Muslim." Terjadinya Perpecahan Dan Perselisihan Di Tengah Kaum MusliminSabda Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam, "Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak." Sesungguhnya perpecahan dan perselisihan dalam Islam itu tercela. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat adzab yang berat." Qs Ali Imrân/3105 Allah Ta'ala berfirman yang artinya Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka menjadi terpecah dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu Muhammad atas mereka. Sesungguhnya urusan mereka terserah atas Allah. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. Qs al-An’âm/6159 Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa agama Islam memerintahkan untuk berjama’ah dan bersatu serta melarang perpecahan dan perselisihan dalam prinsip agama, bahkan dalam setiap permasalahan agama, baik yang pokok maupun cabangnya.”Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, "Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang Ahlul Kitab sebelum kalian telah berpecah-belah menjadi 72 golongan. Sesungguhnya umat Islam akan berpecah-belah menjadi 73 golongan, 72 golongan tempatnya di neraka dan hanya satu golongan di Surga, yaitu al-Jama’âh." Dalam riwayat lain disebutkan "Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu yaitu yang aku dan para Sahabatku berjalan di atasnya." Jalan Selamat Dari Perpecahan Dan Perselisihan Jalan selamat dari perpecahan dan perselisihan adalah dengan berpegang teguh kepada al-qur-an dan as-sunnah menurut pemahaman salafush shalih. Sabda Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, "Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâur Râsyidin yang mendapat petunjuk." Sabda beliau Salallahu 'Alaihi Wassalam di atas terdapat perintah untuk berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam dan Sunnah Khulafâur Râsyidin sepeninggal beliau. Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya berpegang teguh kepada keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan, dan perbuatan perbuatan Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam dan para Khulafâur Râsyidin. Itulah Sunnah yang paripurna. Oleh karena itu, generasi Salaf dahulu tidak menamakan Sunnah, kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari al-Hasan, al-Auzâ’i, dan Fudhail bin Khalifah tersebut disebut Râsyidîn karena mereka mengetahui kebenaran dan memutuskan segala perkara dengan kebenaran. Râsyîd adalah lawan kata dari ghâwi. Ghâwi ialah orang yang mengetahui kebenaran, namun mengamalkan kebalikannya. Sedangkan kata Mahdiyyîn maksudnya adalah Allah Ta'ala membimbing mereka kepada kebenaran dan tidak menyesatkan mereka darinya. Jadi, manusia terbagi menjadi tiga râsyid, ghâwi, dan ialah orang yang mengetahui kebenaran dan mengikutinya. Dhâll ialah orang yang tidak mengetahui kebenaran secara total. Jadi, seluruh orang râsyid itu ialah orang yang mendapatkan petunjuk, dan orang yang diberi petunjuk dengan petunjuk paripurna ialah orang yang râsyid mendapatkan petunjuk, karena petunjuk hanya sempurna dengan mengetahui kebenaran dan Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam untuk mengikuti Sunnah beliau dan Sunnah Khulafâ Râsyidin setelah perintah mendengar dan taat kepada ulil amri adalah bukti bahwa Sunnah para Khulafâur Râsyidin harus diikuti seperti halnya mengikuti Sunnah Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam . Ini tidak berlaku bagi Sunnah para pemimpin selain Khulafâ menunjukkan bahwa kita wajib berpegang kepada al-Qurân dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih. Selain itu, kita diwajibkan mengikuti manhaj para Salafush Shalih karena Allah Ta'ala menyebutkan dalam al-Qurân tentang wajibnya kita mengikuti mereka. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Maka jika mereka beriman sebagaimana kamu telah beriman, sungguh, mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka beradadalam permusuhan dengan kamu. Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dialah yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” Qs al-Baqarah/2137 Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa menentang Rasul Muhammad setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali. Qs an-Nisâ’/4115 Kita berpegang dengan pemahaman Salaf, mengikuti jejak Salafus Shalih, dengan tujuan ingin selamat dunia akhirat dan ingin masuk Surga, bukan untuk mencari kedudukan, harta, dan ketenaran. Kita mengikuti jejak mereka supaya selamat di dunia dan di akhirat dan agar Allah Ta'ala memasukkan kita ke dalam Surga-Nya, bukan untuk memperoleh kesenangan dunia, harta, jabatan, maupun wajib mengikuti jejak Salafush Shalih karena mereka adalah khairun nâs sebaik-baik manusia, dan khairu hâdzhihil ummah dan sebaik-baik umat ini.Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini yaitu masa para Sahabat, kemudian yang sesudahnya masa Tâbi’in, kemudian yang sesudahnya masa Tâbi’utTâbi’în." Mengenai berpegang kepada al-Qurân dan Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih ini, Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam bukan hanya menyuruh berpegang saja. Tetapi menyuruh kita agar memegangnya dengan sangat kuat dan erat sehingga beliau mengungkapkannya melalui sabda beliau, "Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian." Sabda beliau merupakan kiasan tentang kuatnya berpegang teguh kepada Sunnah. Hal itu karena sudah begitu banyaknya fitnah dan syubhat yang ada. Kadang-kadang ada orang berpegang pada manhaj Salaf lalu keluar dari manhaj Salaf karena banyaknya fitnah, syubhat, dan syahwat. Fitnah terbagi menjadi dua fitnah syahwat dan syubhat. Fitnah syubhat ialah fitnah yang terkait dengan pemahaman, aliran, kelompok, firqah, keyakinan, dan lainnya. Sedangkan fitnah syahwat ialah yang berkenaan dengan harta, wanita, jabatan, kedudukan, kekuasaan, dan lain Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam telah menggabungkan Sunnah Sahabatnya dengan Sunnahnya, dan memerintahkan untuk mengikutinya seperti memerintahkan untuk mengikuti Sunnahnya, sampai-sampai beliau memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini meliputi apa yang mereka fatwakan dan apa yang mereka contohkan walaupun sebelumnya Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam tidak ini juga meliputi apa yang mereka fatwakan secara keseluruhan atau sebagian besar dari mereka atau sebagian mereka saja karena Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam mengaitkannya dengan apa yang disunnahkan dicontohkan oleh Khulafâ Râsyidin. Dan sudah dimaklumi, jika mereka mencontohkan hal itu pada saat yang bersamaan, maka bisa diketahui bahwa Sunnah tiap orang dari mereka Sahabat pada masa beliau Salallahu 'Alaihi Wassalam adalah termasuk Sunnah Khulafâur Râsyidin.”Hadits ini sebagai pukulan keras yang menghujam di kepala para ahlul bid’ah yang menyelisihi manhaj Salaf, karena hal ini ditunjukkan oleh beberapa halPertama Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam menggabungkan Sunnah Khulafâur Râsyidin, yaitu pemahaman Salaf, dengan Sunnah beliau. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak bisa dipahami kecuali dengan manhaj Beliau Salallahu 'Alaihi Wassalam menjadikan Sunnah Khulafâur Râsyidin sebagai Sunnah beliau, beliau mengatakan, “Gigitlah ia dengan gigi geraham.” Dan tidak mengatakan, “Gigitlah keduanya dengan gigi geraham.” Dengan demikian jelaslah bahwa Sunnah Khulafâ`ur Râsyidin termasuk Sunnah beliau Salallahu 'Alaihi Beliau menghadapkan menjadikan berlawanan semua itu dengan peringatan terhadap bid’ah, maka hal ini menunjukkan setiap yang menyelisihi manhaj Salaf berarti ia terjerumus dalam bid’ah tanpa ia Beliau menjadikan hal itu manhaj Salaf sebagai solusi dari perselisihan dan kebid’ahan, barangsiapa yang berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam dan Sunnah Khulafâur Râsyidin maka ia termasuk dalam golongan yang selamat kelak di hari Beliau tidak menjadikan Sunnahnya dan Sunnah Khulafâ Râsyidin dalam perselisihan yang banyak itu. Hal ini menunjukkan bahwa semuanya itu berasal dari Allah Ta'ala , karena terjadinya perselisihan yang banyak tidak mungkin dari Allah Ta'ala, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, “Sekiranya al-Qur`ân itu bukan dari Allah, pasti mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” Qs an-Nisâ’/482 Dari poin-poin yang berkaitan ini maka jelaslah bahwa jalan keselamatan dari perselisihan dan perpecahan serta jalan untuk melindungi kehidupan dari kesesatan hawa nafsu dan rusaknya syubhat dan syahwat adalah dengan memahami Sunnah Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam dengan pemahaman mereka. Karena mereka telah mendapat bagian melimpah dari Sunnah tersebut, mereka berhasil menempati posisi terdepan dan memimpin masa, sehingga tidak menyisakan kesempatan bagi generasi setelahnya untuk menyusul dan menyamai mereka karena mereka berhenti di atas petunjuk, telah dicukupkan dengan ilmu, dan dengan ketajaman pandangan mereka melihat Sunnah Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam menjadi sesuatu yang paling agung di hati mereka, paling hebat dalam jiwa Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam mengajak mereka pada suatu perintah, secepatnya mereka segera memenuhinya baik beramai-ramai maupun sendiri-sendiri. Mereka segera membawa jiwa raganya untuk melaksanakan perintah tersebut tanpa perlu bertanya tentang dalil atau karena itu, mereka adalah orang yang paling berhak terhadap Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam dan Sunnahnya, baik dalam pemahaman, pengamalan, maupun dakwah. Dan yang wajib bagi orang setelah mereka adalah berpegang teguh kepada manhaj mereka, agar bisa bersambung dengan Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam dan agama Allah Ta'ala . Jika tidak, maka ia bagaikan pohon buruk yang tercabut dari dalam tanah dan ia tidak memiliki Salallahu 'Alaihi Wassalam mengabarkan tentang akan terjadinya perpecahan dan perselisihan pada umatnya, kemudian Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam memberikan jalan keluar agar selamat dunia dan akhirat yaitu dengan mengikuti Sunnahnya dan Sunnah para Sahabat. Hal ini menunjukkan wajibnya mengikuti Sunnahnya Sunnah Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam dan Sunnah para Sahabatnya radhiallahu'anhum. Jauhilah Perbuatan Bid’ah!Sabda Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, "Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bidah." Yang dimaksud di sini adalah perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan agama, bukan dalam urusan dunia. Sebab, perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan dunia ada yang bermanfaat dan itu merupakan kebaikan dan ada pula yang berbahaya dan itu merupakan keburukan. Sedangkan perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama adalah buruk. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Qs al-Mâ`idah/53 Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, "Tidak tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka, kecuali telah dijelaskan semuanya kepada kalian." Dalam hadits di atas disebutkan, “Setiap perkara yang baru adalah bid’ah” maka apakah yang dimaksud dengan bid’ah? Definisi Bid’ahImam asy-Syâthibi rahimahullah wafat th. 790 H mengatakan, "Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta'ala." Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab, bid’ah adalah sesuatu yang keluar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’ “menyerupai syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari’at tidak ada “untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta'ala“, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab, demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah, yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan Allah Ta'ala hanya untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana firman Allah Ta'ala yang artinya,“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” Qs adz-Dzâriyât/5156Seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah sebagaimana maksud ayat tersebut. Dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta al-Hâfizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah wafat th. 795 H mengatakan, “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari’at yang menunjukkan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari’at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikatakan bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan. Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid’ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan ataupun ucapan, lahir maupun beberapa riwayat dari sebagian Ulama Salaf yang menganggap baik sebagian perbuatan bid’ah, padahal yang dimaksud tidak lain adalah bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’ adalah ucapan Umar bin al-Khaththâb radhiallahu'anhu ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin untuk melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan shalat Tarawih dengan mengikuti satu imam di masjid. Ketika beliau radhiallahu'anhu keluar, dan melihat mereka shalat berjamaah. Maka, beliau radhiallahu'anhu berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah yang semacam ini.”Tidak diragukan lagi bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan sabda Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam yang artinya,“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”Juga sabda beliau Salallahu 'Alaihi Wassalam yang artinya,“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan agama kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak".Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan tertolak. Bid’ah dalam agama itu diharamkan. Namun tingkat keharamannya berbeda-beda tergantung jenis bid’ah itu Salallahu 'Alaihi Wassalam juga bersabda,"Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak didasari atas perintah kami maka amalannya tertolak".Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam sendiri yang mengatakan amalan bid’ah itu tertolak karena tidak terpenuhinya salah satu syarat dari dua syarat diterimanya ibadah, yaitu mutâba’ah mengikuti contoh Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam. Syarat diterimanya ibadah ada dua pertama, niat ikhlas karena Allah Ta'ala dan kedua, sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan Kitab-Nya atau yang dijelaskan Rasul-Nya dan salah satunya tidak dipenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, hal ini ditunjukkan dalam firman-Nya yang artinya "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya".Qs al-Kahfi/18110 Dalam ayat ini, Allah Ta'ala memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, kemudian memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan niatnya karena Allah Ta'ala semata, tidak menghendaki Ibnu Katsîr rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Inilah dua landasan amalan yang diterima Pertama, ikhlas karena Allah Ta'ala dan Kedua, sesuai dengan Sunnah Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam.”Menjelaskan tentang bahaya bid’ah dan ahlul bid’ah kepada umat tidaklah termasuk memecah-belah persatuan kaum Muslimin, bahkan menjelaskan bahaya bid’ah dan membantah ahlul bid’ah termasuk dalam kategori jihad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,“Orang yang membantah ahlul bid’ah adalah mujahid, sampai Yahya bin Yahya berkata, Membela Sunnah Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam lebih utama daripada jihad fî sabîlillâh.’” Setiap Bid’ah Adalah SesatSabda Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, "Dan setiap bid’ah adalah sesat" Sabda beliau di atas termasuk dari jawâmi’ul kalim beliau di mana tidak ada sesuatu pun yang keluar darinya, dan merupakan kaidah agung dalam prinsip-prinsip agama. Sabda beliau tersebut mirip dengan sabda beliau, Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia siapa saja yang mengada-adakan perkara-perkara baru dan menisbatkannya kepada agama padahal tidak memiliki landasan hukum di agama, maka itu merupakan kesesatan dan agama berlepas diri darinya, baik dalam masalah keyakinan, perbuatan, atau perkataan yang tampak maupun perkataan yang Mâlik bin Anas radhiallahu'anhu mengatakan"Barangsiapa yang mengadakan suatu bid’ah dalam Islam yang ia pandang hal itu baik bid’ah hasanah, maka sungguh dia telah menuduh Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wassalam mengkhianati risalah agama ini. Karena sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu...” Qs al-Mâ`idah/53 Maka, sesuatu yang pada hari itu pada masa beliau masih hidup bukanlah ajaran agama, maka hari ini pun sesuatu itu bukanlah ajaran agama."Maksud dari kullu bid'ah adalah semua bid’ah. Tidak ada kata kullu bid'ah yang bermakna sebagian bid’ah. Apakah Sebagian sesat dan sebagian tidak??!!.Apabila kita bawakan hadits yang lain, yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasâi, dari Sahabat Jâbir radhiallahu'anhu"Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."Maka akankah mereka mengatakan bahwa ada kesesatan yang tempatnya di Surga?? Semua kesesatan tempatnya adalah Neraka. Kullu dhalâlah fin naar, artinya setiap kesesatan tempatnya di Neraka. Kullu bid’atin dhalâlah, artinya setiap bidah adalah sesat. Sama-sama menggunakan kata kullu. Ada sebagian orang yang memahami kata kullu dalam “kullu bid'atin dhalâlah" itu sebagian bid’ah, tetapi ketika mereka mengartikan “kullu dhalâlatin finnâr” tidak diartikan sebagian kesesatan tempatnya di Neraka, tetapi semua kesesatan tempatnya di Neraka. Inilah cara berfikir mereka yang kontradiksi. Sabda Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam juga difahami Sahabat demikian, yaitu semua perbuatan bid’ah dalam agama adalah sesat. Abdullâh bin Mas’ûd radhiallahu'anhu berkata,"Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi dengan Islam ini, dan setiap bid’ah adalah sesat.Abdullâh bin Umar radhiallahu'anhu berkata,"Setiap bid’ah itu sesat, meskipun manusia memandang baik."Imam Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Khalaf al-Barbahâri rahimahullah beliau adalah Imam Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah pada zamannya, wafat th. 329 H berkata “Jauhilah setiap perkara bid’ah sekecil apa pun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan menjadi besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada umat ini berasal dari perkara kecil dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari, pelan-pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”Imam Sufyân ats-Tsauri rahimahullah wafat th. 161 H berkata,"Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh Iblis daripada kemaksiatan. Pelaku kemaksiatan masih mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiatannya sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya."Di antara contoh bid’ah yang dianggap baik oleh manusia antara lain Bid’ah Khawârij, yaitu memberontak kepada penguasa kaum Muslimin yang zhalim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Bid’ah Syi’ah, yaitu meyakini bahwa mushaf kaum Muslimin adalah kurang dan yang benar adalah mushaf yang ada pada mereka yang disebut dengan mushaf Fathimah, nikah mut’ah kawin kontrak, mengkafirkan para Sahabat, dan lainnya. Bid’ah Jahmiyah, yaitu mengingkari sifat-sifat Allah Ta'ala, mengatakan bahwa al-Qurân adalah makhluk, meyakini bahwa Allah Ta'ala ada di mana-mana, danlain-lain. Bid’ah Murji’ah, yaitu mereka berpendapat bahwa amal tidak masuk dalam iman, iman tidak bertambah dan berkurang, dan lain-lain. Bid’ah Mu’tazilah, yaitu mereka mengatakan bahwa pelaku dosa besar berada di satu kedudukan di antara dua kedudukan yakni tidak Muslim tidak juga kafir, dan lain-lain. Bid’ah kaum Shufi dan para penyembah kubur, yaitu tawasul dengan kuburan dan orang shalih yang telah meninggal dunia, dzikir berjama’ah, dan lain-lain. Merayakan maulid hari kelahiran Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wassalam. Merayakan Isrâ’ Mi’râj. Merayakan tahun baru Hijriyyah. Tahlilan dan mengirimkan pahala bacaan al-Qurân kepada orang yang sudah mati. Shalat Nishfu Sya’ban. Dan bid’ah-bid’ah lainnya yang sangat banyak. Setiap Kesesatan Tempatnya Di Neraka Dalam riwayat an-Nasâi dari Jâbir bin Abdillâh radhiallahu'anhu, Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, "Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka." Yang harus diperhatikan mengenai hadits ini bahwa kita tidak boleh memastikan orang yang berbuat bid’ah dan maksiat itu tempatnya di Neraka. Kita tidak punya hak sama sekali. Sebagaimana kita juga tidak boleh memastikan orang yang berbuat ketaatan kepada Allah Ta'ala, tempatnya di Surga. Kecuali orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya Salallahu 'Alaihi beliau di atas merupakan ancaman yang terdapat di dalam banyak hadits dan ayat al-Qurân sebagaimana yang disebutkan oleh para Ulama. Artinya orang yang melakukan perbuatan bid’ah diancam masuk Neraka. Adapun memastikan dia masuk Neraka, maka tidak boleh dilakukan dan sangat berbahaya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Seseorang yang berilmu terkadang menyebutkan ancaman terhadap sesuatu yang dipandangnya sebagai perbuatan dosa, padahal dia mengetahui bahwa orang yang menakwilnya diampuni dan tidak terkena ancaman. Tetapi dia menyebutkan hal itu untuk menjelaskan bahwa perbuatan dosa mengakibatkan mendapatkan siksa. Dia hanya mengingatkan untuk menghalangi manusia dari perbuatan yang dipandangnya sebagai dosa.”Beliau rahimahullah juga berkata, “Karena nash-nash ancaman bentuknya umum, maka kita tidak menyatakan dengannya kepada orang tertentu bahwa dia termasuk penghuni Neraka. Sebab memungkinkan tidak berlakunya hukum yang ditetapkan pada orang yang melakukannya karena adanya penghalang yang kuat seperti taubat, atau kebaikan-kebaikan yang menghapuskan keburukan, atau musibah-musibah yang menghapuskan dosa, atau syafa’at yang diterima, dan lain-lain.”Maka sabda Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, “Setiap kesesatan tempatnya di Neraka,” adalah sifat bagi amal yang dilakukan seseorang dan sifat bagi buah amal yang dilakukannya, jika tidak disusuli dengan taubat dan sabda beliau Salallahu 'Alaihi Wassalam, “...di Neraka.” Tidak mengharuskan kekal di dalam Neraka atau berada lama di dalamnya. Tetapi seseorang masuk Neraka sesuai maksiat yang dilakukannya, baik bentuknya bid’ah maupun hal ini, berlaku hukum lain, yaitu menghalalkan sesuatu yang diharamkan agama. Barangsiapa menghalalkan suatu bid’ah atau selainnya dari perbuatan maksiat dengan menghalalkan dalam hatinya padahal dia mengetahui dan mengakui bahwa sesuatu yang dilakukan tidak memiliki dasar dalam Sunnah, bahkan dia mengetahui bahwa tindakannya itu merupakan bentuk “mengoreksi” syariat maka ketika itu ia berada di dalam Neraka karena dia ath-Thahawi rahimahullah dalam kitab akidahnya hlm. 316-disertai syarah Ibnu Abil Izz mengatakan, “Kita tidak mengkafirkan seorang pun dari Ahlul Kiblat kaum Muslimin karena perbuatan dosa selama ia tidak menghalalkannya.”Dan tidak diragukan lagi bahwa bid’ah adalah dosa yang sangat jelas dan maksiat yang sangat nyata. Dan dalil-dalil yang mengecamnya dan memerintahkan untuk menjauhinya sangat banyak sekali. Fawaa-Id Pelajaran Dari Hadits Ini Disyari’atkan memberikan nasehat. Akan tetapi, hendaknya dilakukan pada tempatnya dan jangan terlalu sering agar tidak membosankan. Nasehat atau wasiat perpisahan biasanya menyentuh hati. Nasehat Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam semuanya bermanfaat dan menyentuh hati para Sahabat. Boleh bagi seseorang untuk meminta nasehat dari orang alim Ulama, dan dalam hal ini apabila ada sebabnya, yakni seseorang membutuhkan nasehat. Wasiat yang paling baik adalah wasiat takwa kepada Allah Ta'ala . Seseorang akan mencapai takwa kepada Allah Ta'ala apabila ia menuntut ilmu syar’i, mengamalkannya, dan mentauhidkan Allah Ta'ala dan menjauhkan syirik. Takwa adalah melaksanakan perintah Allah Ta'ala dan menjauhkan larangan-Nya. Perintah yang paling besar adalah mentauhidkan Allah Ta'ala dan larangan yang terbesar adalah syirik. Takwa mempunyai keutamaan yang sangat banyak. Wajib mendengar dan taat kepada ulil amri penguasa dari kaum Muslimin dalam hal yang ma’ruf. Tidak boleh taat kepada ulil amri dalam hal maksiat. Perintah taat kepada ulil amri meskipun dia seorang hamba sahaya budak, menunjukkan pentingnya taat kepada ulil amri. Di antara mukjizat Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam , beliau mengabarkan akan terjadinya perpecahan dan perselisihan di tengah-tengah kaum Muslimin. Jalan selamat dari perpecahan dan perselisihan adalah berpegang kepada al-Qurân dan Sunnah Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam serta memahaminya sebagaimana yang difahami oleh para Sahabat radhiallahu'anhum . Keutamaan Khulâfaur Râsyidin. Keutamaan para Sahabat radhiallahu'anhum, karena mereka adalah orang-orang yang berserah diri kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Baiknya hati para Sahabat radhiallahu'anhum, karena mereka takut kepada Allah Ta'ala . Wajib atas setiap Muslim mempelajari Sunnah Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam. Kita wajib mengikuti Sunnah Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam dan Sunnah Khulafâur Râsyidin serta berpegang teguh dengan keduanya. Kita wajib waspada dan hati-hati kepada setiap perkara yang baru yang tidak ada asalnya dari Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam. Setiap perkara yang baru yang diada-adakan dalam agama adalah bid’ah. Semua bid’ah adalah sesat, tidak ada bid’ah hasanah dalam Islam dan tidak ada juga pembagian bid’ah menjadi lima hasanah, mubah, makruh, haram, dan wajib. Yang mengatakan semua bid’ah sesat adalah Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam. Beliau adalah orang yang paling tahu tentang Islam, paling fasih berbahasa Arab, dan paling jujur. Semua kesesatan tempatnya di Neraka. Menjelaskan tentang bahaya bid’ah kepada umat tidak termasuk memecah belah kaum Muslimin, namun termasuk dalam kategori amar ma’ruf nahi munkar. Tidak boleh memastikan para pelaku bid’ah dengan masuk Neraka karena kita tidak tahu akhir kehidupannya. Bisa jadi ia bertaubat dari perbuatan bid’ahnya tersebut. Bid’ah merusak hati, akal, dan agama. Wallâhu a’lam. Majalah As-Sunnah Edisi 10/Thn. XIII/Muharram 1431H/Januari 2010M HaditsTentang Kebersihan Sebagian Dari Iman Hadist Tentang Kebersihan 9 Hadits Tentang Kebersihan 9 Hadits Tentang Kebersihan Hadist Kebersihan Hadits . Langsung ke isi. Gambar Islami Menu. Pengaruh Pemahaman Keagamaan Terhadap Kebersihan Santri Pondok. Penanaman Nilai Budaya Melalui Materi Kebersihan Lingkungan Pada. Perpisahan adalah Bagian dari Hidup Hello Readers, perpisahan adalah bagian dari hidup yang tak dapat dihindari. Kita pasti pernah merasakan kehilangan seseorang yang kita sayangi karena harus berpisah. Baik itu karena pindah kota, pindah sekolah, atau bahkan kematian. Namun, dalam Islam, perpisahan bukanlah sesuatu yang hanya menimbulkan kesedihan. Ada banyak hadits yang mengajarkan tentang bagaimana kita seharusnya memandang perpisahan. Hadits tentang Menyimpan Kenangan yang Berharga Salah satu hadits yang mengajarkan tentang perpisahan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Beliau menyampaikan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barangsiapa yang mengunjungi saudaranya di atas kemauannya, maka Allah akan menciptakan untuknya satu buah taman di surga.” HR. Bukhari dan Muslim.Dalam hadits ini, Rasulullah SAW mengajarkan tentang pentingnya menjalin silaturahmi dengan saudara-saudara kita. Meskipun suatu saat kita harus berpisah, namun kita seharusnya tetap menjaga hubungan baik dengan mereka. Dengan begitu, kita tidak hanya menyimpan kenangan yang indah bersama mereka di dunia, tetapi juga akan mendapatkan pahala di surga kelak. Hadits tentang Berdoa untuk Mereka yang Telah Pergi Selain itu, Rasulullah SAW juga mengajarkan tentang bagaimana kita seharusnya memandang perpisahan karena kematian. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Doakanlah saudaramu yang telah pergi dengan baik, dan mintalah kebaikan baginya di dalam doa-doa kalian.” Dalam hadits ini, Rasulullah SAW mengajarkan tentang pentingnya kita berdoa untuk saudara-saudara kita yang telah meninggal dunia. Meskipun mereka sudah pergi, namun kita masih bisa membantu mereka dengan doa. Dengan begitu, kita tidak hanya menyimpan kenangan yang indah bersama mereka, tetapi juga membantu mereka mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Hadits tentang Berusaha untuk Bertemu Kembali Selain mengajarkan tentang pentingnya menyimpan kenangan yang indah bersama saudara-saudara kita, Rasulullah SAW juga mengajarkan tentang bagaimana kita seharusnya memandang perpisahan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Janganlah kalian berpisah lama-lama sehingga kalian saling membenci. Namun, jika kalian berpisah sejenak, maka usahakanlah untuk bertemu kembali.”Dalam hadits ini, Rasulullah SAW mengajarkan tentang pentingnya kita berusaha untuk bertemu kembali dengan saudara-saudara kita yang harus berpisah. Meskipun kita harus berpisah sejenak, namun kita seharusnya tetap berusaha untuk bertemu kembali. Dengan begitu, kita tidak hanya menyimpan kenangan yang indah bersama mereka, tetapi juga memperkuat hubungan kita dengan mereka. Hadits tentang Berusaha untuk Menjalin Hubungan Baik Terakhir, Rasulullah SAW juga mengajarkan tentang bagaimana kita seharusnya memandang perpisahan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Jika dua orang saling berpisah dengan baik, maka Allah akan memperkuat hubungan keduanya.”Dalam hadits ini, Rasulullah SAW mengajarkan tentang pentingnya kita menjalin hubungan baik dengan saudara-saudara kita yang harus berpisah. Meskipun kita harus saling berpisah, namun kita seharusnya tetap berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan mereka. Dengan begitu, kita tidak hanya menyimpan kenangan yang indah bersama mereka, tetapi juga memperkuat hubungan kita dengan mereka. Kesimpulan Dalam Islam, perpisahan bukanlah sesuatu yang hanya menimbulkan kesedihan. Ada banyak hadits yang mengajarkan tentang bagaimana kita seharusnya memandang perpisahan. Kita seharusnya tetap menjalin silaturahmi dengan saudara-saudara kita, berdoa untuk mereka yang telah pergi, berusaha untuk bertemu kembali, dan menjalin hubungan baik dengan mereka. Dengan begitu, kita tidak hanya menyimpan kenangan yang indah bersama mereka, tetapi juga mendapatkan pahala di surga kelak. Sampai jumpa kembali di artikel menarik lainnya.- Кօсна ուμиσօ шሧрիвре
- Յаնаጾυрс ιсиглեщуз
- ጹухθጩθ иፉибяз
- ሸофուн պቂрፄснαβ
- Иናиዣыμуካፈн бр уռуጾаլу
- Яфաгቪዮየጴ աбиβэዪаςο νօտ ህхра
Source sebagai agama yang memiliki banyak tradisi dan ajaran, menyimpan banyak sekali nilai yang harus dipegang teguh oleh setiap umatnya. Salah satu tradisi yang banyak dijumpai dalam Islam adalah hadits pertemuan dan perpisahan. Dalam tradisi ini, terdapat banyak sekali hikmah dan kebijaksanaan yang dapat diambil, sehingga sangat penting untuk mengenal lebih dekat tentang hadits pertemuan dan perpisahan. Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih dalam seputar hadits ini, mulai dari pengertian, makna, hingga implikasi pada kehidupan pertemuan dan perpisahan merupakan salah satu hadits yang banyak dijumpai dalam kitab-kitab hadits. Hadits ini biasanya disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW ketika bertemu dengan para sahabatnya atau ketika berpisah dengan mereka. Hadits ini juga biasa disebut sebagai hadits perpisahan, karena biasanya disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW ketika hendak meninggalkan para sahabatnya untuk melakukan suatu perjalanan atau Hadits Pertemuan dan PerpisahanHadits pertemuan dan perpisahan memiliki banyak sekali makna dan hikmah yang dapat diambil. Beberapa makna dan hikmah tersebut adalah sebagai berikutMaknaHikmahMenjaga persaudaraanMembangun rasa kebersamaan dan solidaritas di antara umat IslamMemberikan nasihat dan pengajaranMeningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang ajaran IslamMenyampaikan doa-doa baikMenjaga kebahagiaan dan keselamatan para sahabatSelain itu, hadits pertemuan dan perpisahan juga memiliki makna yang sangat penting dalam Islam, yaitu untuk mengingatkan umat Islam akan sifat sementara dari kehidupan di dunia ini. Dalam hadits ini, Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada para sahabatnya agar selalu mengingat kematian dan hari akhirat, sehingga dapat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi kehidupan setelah dunia Hadits Pertemuan dan Perpisahan dalam Kehidupan Sehari-hariHadits pertemuan dan perpisahan memiliki implikasi yang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa implikasi tersebut adalah sebagai berikutMenjaga PersaudaraanSalah satu implikasi hadits pertemuan dan perpisahan adalah untuk menjaga persaudaraan di antara umat Islam. Dalam hadits ini, Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada para sahabatnya agar selalu menjaga solidaritas dan kebersamaan di antara mereka. Hal ini tentu saja sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam membentuk hubungan yang baik dengan sesama Nasehat dan PengajaranSelain itu, hadits pertemuan dan perpisahan juga mengajarkan kepada umat Islam untuk selalu memberikan nasehat dan pengajaran kepada sesama. Dalam hadits ini, Nabi Muhammad SAW seringkali memberikan nasihat dan pengajaran kepada para sahabatnya, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang lebih baik dan taat kepada Allah SWT. Hal ini tentu saja sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam membentuk karakter yang baik dan menumbuhkan sikap peduli terhadap Doa-doa BaikHadits pertemuan dan perpisahan juga mengajarkan kepada umat Islam untuk selalu menyampaikan doa-doa baik kepada sesama. Dalam hadits ini, Nabi Muhammad SAW seringkali menyampaikan doa-doa baik kepada para sahabatnya, sehingga mereka dapat hidup dengan bahagia dan selamat. Hal ini tentu saja sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam membentuk hubungan yang baik dengan sesama Kedekatan dengan Allah SWTImplikasi terakhir hadits pertemuan dan perpisahan adalah untuk selalu menjaga kedekatan dengan Allah SWT. Dalam hadits ini, Nabi Muhammad SAW mengingatkan para sahabatnya untuk selalu mengingat kematian dan hari akhirat, sehingga mereka dapat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi kehidupan setelah dunia ini. Hal ini tentu saja sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam membangun hubungan yang baik dengan Sang Pencipta dan menghadapi kehidupan dengan kesiapan yang lebih artikel ini, kita telah membahas mengenai hadits pertemuan dan perpisahan, mulai dari pengertian, makna, hingga implikasi pada kehidupan sehari-hari. Hadits ini memiliki banyak sekali hikmah dan kebijaksanaan yang dapat diambil, sehingga sangat penting untuk mengenal lebih dekat tentang hadits ini. Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam memahami nilai-nilai Islam yang lebih baik dan meningkatkan kualitas kehidupan kita sebagai umat video of Hadits Pertemuan dan Perpisahan Mengenal Lebih Dekat Tradisi Islam
AYATAL-QUR'AN DAN HADITS TENTANG PENGENALAN DIRI. Syeikh Ahmad Arifin berpendapat bahwa setiap yang ada pasti dapat dikenal dan hanya yang tidak ada yang tidak dapat dikenal. Karena Allah adalah zat yang wajib al-wujud yaitu zat yang wajib adanya, tentulah Allah dapat dikenal, dan kewajiban pertama bagi setiap muslim adalah terlebih dahulu
Sepuluh tahun apakah sudah menjadi waktu yang cukup untuk kita berjuang bersama? Apakah sudah cukup untuk akhirnya semua akan tergantikan?Tak mudah dan sungguh bukan suatu yang mudah untuk melepas sesuatu yang tergambar jelas di masa itu. Masa di mana perjuangan untuk membangun amanah di tempat ini 31 Juli 2021, akan menjadi momen bagi kami, santri Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Lampung dan segenap Sumber Daya Insani yang mengabdi di pondok ini, memberikan salam perpisahan kepada sosok yang kami sebut ayah, guru, sahabat, teman, dan kerabat, yakni Gurunda Kyai Mulyanto, Pengasuh Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an dengan lirih salam indah perpisahan itu diungkapkan oleh beberapa perwakilan dari masing-masing unit yang ada di Pesantren Daqu Lampung. Mulai dari unit tahfidz, front office, pengasuhan, sekolah sampai ibu- ibu mata tak lagi dapat tertahan. Banyak hal yang sudah terlewat dengan penuh keindahan, keramahan yang beliau pancarkan setiap hari. Canda, tawa, pesan, nasihat, bahkan emosi yang meraja hati saat mengenang kilas balik kebersamaan banyak kata karena hanya maaf yang bisa kami sampaikan dalam perpisahan ini. Maaf karena kami sering bebal namun kau tetap bersabar memperlakukan kami dan mengarahkan tak dapat membalas jasamu yang besar karena hanya doa yang dapat kami panjatkan untuk kebaikan di sepanjang perjalananmu. Tidak terhitung berapa banyak jasamu. Semoga engkau sehat selalu dan memori keberkahan ini takkan pernah hilang dari ingatan oleh Febrina Suci Nandassa, Staf Marketing Pendidikan Pesantren Daqu Lampung
welcomeTo Blog Santri Madura mi darul fathi jl. dabang bulung klampis bangkalan jawa timur. jangan lupa juga latih anak kelas akhir biar acara perpisahan lebih meriah. Hadits Palsu Sebenarnya kata ibu seorang siswa tadi adalah sebuah Hadits, teks lengkapnya sebagai berikut: "Lima hal yang membatalkan orang berpuasa, dan membatalkan
ETIKA NABI SAAT PERPISAHAN Bab ini memuat tiga hadits, yaitu Pertama Dari Ibnu Umar t. yang mempunyai beberapa sanad, diantaranya ۱٤ - . ÇóÑúÓóáóäöì ÇÈúäõ ÚõãóÑó İöì ÍóÇÌóÉò İóŞóÇáó ÊóÚóÇáú ÍóÊøì ÇóÄÏóÚóßó ßóãóÇæóÏóÚóäöì ÑóÓõÄáõ Çááøåö Õóáøóì Çááøåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó æóÇóÑúÓóáóäöìú İöì ÍóÇÌóÉò áóåõ İóŞóÇáó ,, ÇóÓúÊóÄÏöÚõ Çááøåó Ïöíúäóßó æóÇóãóÇäóÊóßó æóÎóæóÇÊöíúãó Úóãóáöß ,, Dari Quza’ah ia berkata ”Ibnu Umar t. mengutusku untuk suatu keperluan. Lalu ia berkata ’Kemarilah aku akan mengucapkan selamat jalan kepadamu, sebagaimana ucapan selamat tinggal Nabi r. kepadaku ketika beliau mengutusku untuk suatu keperluan. Kemudian ia mengucapkan ”Aku menitipkan agamamu, umatmu, dan segala akhir perbuatanmu kepada Allah.“ Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud no 2600, Imam Hakim 2/97, Imam Ahmad juz 2/25, 38 dan 136, dan Imam Abu Asakir 14/290/2 dan 15469/1, diperoleh dari Abdulaziz bin Umar bin Abdulaziz yang mendengarnya dari Quza’ah. Perawi-perawinya tergolong tsiqah konsisten terhadap ajaran Islam dan kuat ingatannya tetapi ada yang diperselisihkan, yaitu Abdulaziz. Sebagian Ulama meriwayatkannya dengan sanad seperti itu, tapi sebagian lain ada pula yang memasukkan satu orang perawi antara Abdulaziz dan Quza’ah. Orang yang dimaksud tersebut adalah Ismail bin Jarir, namun sementara Ulama juga ada yang menyebutnya Yahya bin Ismail bin Jarir. Sedang Al-Hafizh Ibnu Asakir menyebutkan beberapa riwayat yang berbeda- beda. Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya At-Taqrib mengatakan ”Yang benar adalah Yahya bin Ismail.“ Saya berpendapat bahwa hadits itu adalah dha’if , tetapi kemudian menjadi kuat karena adanya sanad-sanad lain. Di dalam riwayat Ibnu Asakir terdapat matan sebagai berikut Sebagaimana Rasulullah r. mengucapkan selamat tinggal kepadaku, lalu ia menjabat tangan saja. Setelah itu ia mengucapkan ia mengucapkan seperti kalimat hadits di atas. Diriwayatkan dari Salim, bahwa Ibnu Umar selalu mengucapkan kepada orang yang hendak bepergian ”Izinkan aku mengucapkan selamat jalan kepadamu, sebagaimana Nabi r mengucapkannya kepadaku, lalu ia berucap seperti kalimat pada hadits yang pertama.“ Hadits ini ditakhrij oleh Imam Tirmidzi 2/255, cet. Bulaq, Imam Ahmad 2/7, dan Abdul Ghani Al-Maqdisy di dalam juz 63 41/1, dari Sa’id bin Khutsaim dari Hanzalah yang dikutip dari Salim. Imam Tirmidzi berkomentar ”Hadits ini statusnya adalah hasan shahih gharib ada di antara ketiga status tersebut, yang dimaksud adalah yang diriwayatkan oleh Salim.“ Saya berpendapat ”hadits ini sesuai dengan syarat Muslim, hanya saja sanad yang dari Sa’id masih dipertentangkan. Oleh karena itu Imam Hakim meriwayatkannya 1/442 dan 2/97 dari Ishak bin Sulaiman dan Walid bin Muslim yang dikutip dari Handzalah bin Abu Sofyan diperoleh dari Al-Qasim bin Muhammad yang mengisahkan ”Saya berada di samping Ibnu Umar. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dan berkata ”Saya hendak pergi.” Lalu Ibnu Umar berkata “Tunggulah, aku akan mengucapkan selamat jalan kepadamu Kemudian Al-Qasim bin Muhammad menyebutkan kalimat seperti hadits pertama.” Imam Hakim berkomentar “Hadits ini statusnya shahih menurut syarat Bukhari-Muslim.” Penialian ini disetujui oleh Adz-Dzahabi. Kemungkinan Imam Tirmidzi menganggap gharib Hadits yang periwayatannya terdapat perawi yang menyendiri, baik di dalam keberadaan sifat maupun keadannya hadits yang diriwayatkan melalui jalur Salim ini tsiqah, karena dua orang perawi tsiqah, yaitu Ishak n Sulaiman dan Al-Walid bin Muslim, yang berbeda dengan Ibnu Khatsaim, sebab Ibnu Khatsaim meriwayatkannya dari Handzalah dari Salim, sedangkan kedua perawi tsiqah tersebut mengatakan dari Handzalah yang diperoleh dari Al-Qasim bin Muhammad, dari Salim. Dan inilah nampaknya yang lebih shahih. Abu Ya’la mentakhrij hadits ini di dalam musnad-nya 2/270, dari jalur Al-Walid bin Muslim saja. Dari Mujahid, yang menceritakan “Saya dan seorang laki-laki pergi ke Irak. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan Abdullah Ibnu Umar. Tatkala akan berpisah ia berkata ”Aku tidak mempunyai sesuatu yang akan aku nasihatkan kepada kalian. Tetapi aku mendengar Rasulullah r. bersabda ”Jika ia musafir menitipkan sesuatu kepada Allah, maka mudah-mudahan Allah berkenan menjaganya. Dan saya menitipkan agamamu, amanat dan akibat perbuatan kalian kepada Allah I.“ Hadits dengan riwayat ini disampaikan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab shahihnya 2376 dengan sanad yang shahih. Dari Nafi’ dikutip dari Mujahid yang menuturkan ”Apabila Rasulullah r. menginggalkan seseorang, maka beliau meraih tangannya. Dan beliau tidak akan melepaskan genggamannya kecuali orang itu sendiri yang melepaskannya, dan beliau berkata kemudian perawi menyebutkan ucapan selamat tinggal seperti hadits yang pertama.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 2/255, cet. Balaq yang menilainya gharib. Saya berpendapat, bahwa yang dimaksudkan oleh penilaian Imam Tirmidzi itu adalah dha’if dari segi jalur sanad ini. Hal itu bisa demikian karena hadits itu diriwayatkan oleh Ibrahim bin Abdurrahman bin Zaid bin Umayyah dari Nafi’. Padahal Ibrahim ini tidak dikenal majhul. Tetapi Ibrahim tidak meriwayatkan hadits ini seorang diri, namun ada perawi lain yang juga meriwayatkannya, yaitu Ibnu Mahah 2/943 nomor 2826, yang diperoleh dari Ibnu Abi Laila dari Nafi’. Akan tetapi Ibnu Abi Laila adalah orang yang kurang baik hafalannya. Nama sebenarnya, Muhammad bin Abdurrahman. Ia tidak menyebutkan ceita tentang berjabat tangan. Hadits kedua dari Abdullah Al-Khathami yang menceritakan ۱٥ -. ÇóáÍóÏöíúËõ ÇúáËøóÇäöìú Úóäú ÚóÈúÏöÇááøåö ÇúáÎóÊöãöìøö ŞóÇáó ,, ßóÇäó ÇáäøóÈöìøó Õóáøì Çááøåõ Úóáóíúåö æó ÇáÓóáøóãó ÇöĞóÇÇóÑóÇÏó Çóäú íóÓúÊóÄÏöÚó ÇáúÌóíúÔó ŞóÇáó İóĞóßóÑóåõ. “Adalah Rasulullah r. apabila hendak meninggalkan tentaranya, bersabda kemudian rawi menyebutkan kalimat yang diucapkan oleh Nabi r. seperti pada hadits pertama.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Sina di dalam Amalul-Yaum wal-Lailah nomor 498 dengan sanad yang shahih menurut Muslim. Hadits ketiga dari Abu Hurairah yang memberitakan Çóäú ÇáäøóÈöìøó Õøáøì Çááøåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÇöĞóÇÇóÄÏóÚó ÇóÍóÏóÇ ŞóÇáó İóĞóãóÑóåõ . “Rasulullah r jika meninggalkan seseorang beliau bersabda sebagaimana kalimat pada hadits pertama.” Hadits dengan sanad ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad 2/358; dari Ibnu Labai’ah yang mengutip dari Al-Hasan bin Tsauban dari masa Ibnu Wirdan yang diperolehnya dari Abu Hurairah. Saya berpendapat, bahwa seluruh perawinya adalah tsiqah. Hanya saja Ibnu Labai’ah agak buruk hafalannya. Matan yang dipakainya pun berbeda dengan yang dipakai oleh Al-Laits bin Sa’ad dan Sa’id bin Abi Ayyub yang diperolehnya dari Hasan bin Tsauban yang menuturkan “Aku akan menitipkan kepada Allah yang tidak pernah menyia-nyiakan barang titipan-Nya.” 1 Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ini lebih shahih dan sanadnya jayyid shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad 403/1. Saya juga melihat, bahwa Ibnu Labai’ah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang sama dengan riwayat yang ditakhrij oleh Ibnu Sina nomor 501 dan Ibnu Majah 2/943, nomor 2825. Sedang saya sendiri merasa yakin kesalahannya ada pada redaksi yang pertama. Faedah-faedah Hadits Dari hadits yang shahih ini dapat diambil beberapa faedah 1. Disyariatkannya ucapan selamat tinggal dengan kalimat yang telah berlaku, yaitu ÃÓÊæÏÚ Çááøå Ïíäß æÇãÇäÊß æÎæÇÊíã Úãáß Atau ÃÓÊæÏÚßã Çááøå ÇáĞì áÇ ÊÖíÚ æÏÇäÚå 2. Bersalaman dengan satu tangan. Hal ini disebutkan pada banyak hadits. Dan jika ditinjau dari segi etimologi, maka kata al-mushafahah artinya al-akhdzu bi-yudi memegang tangan atau memegangnya. Di dalam Lisanul Arab disebutkan Kata al-mushafahah berarti menggenggam tangan. Begitu juga dengan kata al-tashafuh. Ar-rajul yushafihur-rajul, artinya seseorang menempelkan telapak tangannya pada telapak tangan orang lain dan keduanya saling menempelkan telapak tangan mereka serta saling berhadapan. Arti yang sama dipakai pada hadits mushafahah ketika bertemu. Kata ini merupakan tindakan menempelkan telapak tangan seseorang dengan telapak tangan orang lain dengan berhadap-hadapan. Menurut saya ada beberapa hadits yang senada dengan hadits tersebut, seperti hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Hudzaifah ۱٦ -. Çöäøó ÇáúãÁúæãöäó ÇöĞóÇáóŞöìó ÇáúãõÁúæ ãöäó İóÓóáøóãó Úóáóíúåö æğÇóÎóÖø ÈöíóÏöå İóÕóÇİóÍóåó ÊóäóÇËóÑóÊú ÎóØóÇíóÇ åõãóÇ ßóãóÇ ÊóäóÇ ËóÑóÊú æóÑóŞõ ÇáÔøóÌóÑö “Jika seorang mukmin bertemu dengan orang mukmin lainnya, lalu mengucapkan salam dan berjabatan tangan, maka semua kesalahan kedua orang itu akan rontok, seperti daun-daun yang berguguran.” Sementara itu Al-Mundziri 3/270 berkomentar “Imam Thabrani meriwayatkan hadits ini di dalam Al-Ausath’, dan sepengetahuan saya perawi-perawinya tidak ada yang jahr cacat. Saya berpendapat, hadits ini mempunyai beberapa syahid hadits penguat yang dapat meningkatkan statusnya menjadi shahih. Di antaranya hadist yang diriwayatkan oleh Anas di dalam kitabnya Al-Mukhtarah nomor 240/1-2. Al-Mundziri menaikkannya kepada Imam Ahmad dan Imam lainnya. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa yang disunnahkan di dalam berjabat tangan adalah dengan satu tangan. Apa yang dilakukan oleh bebetapa Syaikh, yakni berjabat tangan dengan menggunakan dua tangan adalah menyelisihi sunnah. Hal ini perlu kita ketahui secara detail. 3. Berjabatan tangan juga dianjurkan ketika akan berpisah. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi r. “Merupakan kesempurnaan penghormatan adalah berjabatan tangan.” Hadits ini dilihat dari segi sanadnya, bagus sekali. Sebenarnya saya bermaksud menampilkan judul tersendiri tentang pembahasan ini dengan disertai penjelasan mengenai sanad-sanadnya. Akan tetapi setelah saya teliti ternyata sanadnya dha’if dan tidak patut dibuat hujjah. Oleh karena itu saya hanya menyebutkannya di dalam As-Silsiasul-Ukhra Rangkaian hadits yang lain 1288. Adapun mengenai pengambilan dalil pembuktian kebenaran tentang disyariatkannya salam ketika berpisah adalah sabda Nabi r. “Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid, maka ucapkanlah salam. Dan jika ia keluar, maka juga ucapkanlah salam. Salam yang pertama adalah lebih utama dari salam yang kedua.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan lainnya dengan sanad hasan. Melihat hadits ini maka pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa berjabatan tangan ketika berpisah adalah bid’ah, sama sekali tidak mempunyai dalil. Memang, orang-orang yang berpendapat mengenai adanya hadits-hadits yang mengenai jabat tangan ketika bertemu adalah lebih banyak dan lebih kuat daripada ketika berpisah, tetapi orang yang tajam pemahamannya akan menyimpulkan bahwa intensitas disyari’atkannya berjabatan tangan ketika bertemu dengan ketika berpisah tidak sama. Misalnya berjabatan yanga pertama adalah sunnah, sedangkan yang kedua adalah anjuran mustahabbah. Sedang bila jabatan tangan yang kedua dikatakan bid’ah, sama sekali tidak mempunyai dasar. Adapun berjabatan tangan selepas shalat adalah bid’ah. Hal ini tidak diragukan lagi, kecuali antara dua orang yang tidak pernah bertemu sebelumnya, maka dalam kondisi ini berjabatan tangan memang **** ________________________________ 1 Hal ini telah ditulis oleh Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam. Insya Allah saya akan memaparkan pendapatnya pada risalah saya yang keempat, dari Tanfidul Ishabah.
.